Rabu, 03 November 2010

JENIS – JENIS KEPEMILIKAN

Kepemilikan Individu(Private Property)
Di antara Fitrah manusia adalah dia akan selalu berusaha memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta selalu berupaya untuk meraih perolehan kekayaan tersebut. Dari sini maka usaha manusia untuk memperoleh kekayaandi samping merupakan perkara yang pasti dan harusd dilakukan.
Karena itu, setiap upaya untuk melarang manusia memperoleh kekayaan tersebut tentu bertentangan dengan fitrah, wajar dan alami jika manusia tidak dihalang-halangi untuk mengumpulkan kekayaan
Dengan demikian, tentu manusia harus diberikan peluang untuk dapat mengumpulkan kekayaan serta berusaha untuk mendapatkannya dengan suatu cara, yaitu yang bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer semua orang. Serta bisa menjamin adanya peluang bagi mereka yang memungkinkan mereka bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan selain kebutuhan primernya. Atas dasar itu, upaya memperoleh kekayaan tersebut harus dibatasi dengan mekanisme tertentuyang sederhana, yang bisa dilakukan oleh semua orang sesuai dengan perbedaan tingkat kemampuan dan kebutuhan mereka, serta sesuai dengan fitrah, yaitu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer mereka, berikeut kemungkinan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di luar kebutuhan primernya.
1.      Batasan Kepemilikan Individu
Kepemilikan individu adalah salah satu hokum syariah yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan (utility) tertentu. Kepemilikan individu ini memastikan adanya peluang bagi siapa saja yang memilikinya itu serta memperoleh kompensasi. Kepemilikan individu tersebut semisal kepemilikan seseorang atas roti dan rumah.  
Allah telah memberikan izin untuk memiliki beberapa barang dan melarang untuk memiliki beberapa barang lainnya. Allah pun telah mengizinkan beberapa akad?transaksi dan melarang beberapa bentuk akad?transaksi lainnya. Allah misalnya, telah melarang seorang Muslim untuk memiliki miniman keras dan babi. Sebaliknya Allah telah mengizinkan jual-beli dan menghalalkannya, tetapi melarang dan mengharamkan riba. Allah telah mengizinkan kerjasama usaha dalam bentuk syirkah ‘inan, tetapi melarang kerjasama usaha dalam bentuk koperasi, perseroan saham (PT) dan asuransi.
Kepemilikan yang telah disyariatkan memiliki beberapa syaarat pengelolaan atas suatu kepemilikan juga memiliki beberapa ketentuan. Dalam hal ini, kepemilikan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan suatu komunitas –bukan sebagai individu yang terpisah sama sekali-maupun sebagai individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu.  
Dengan demikian, berdasarkan definisi di atas, bisa dipahamimakna hakiki tentang perolehan kekayaan kepemilikan taleh diperbolehkan oleh Asy-Sydri’ serta makna usaha untuk memperoleh kekayaan dan memanfaatkan kekayaan yang telah diperoleh.. dengan kata lain, definisi tersebut telah menunjukkan makna hakiki kepemilikan.

2.      Makna Kepemilikan
Hak individu adalah hak individu yang diakui syariah. Dengan hak itu, seseorang boleh memiliki kekayaan yang bergerak meupun yang tidak bergerak. Hak ini dilindungi dan dibatasi oleh undang-undang (hokum syariah) dan adanya kontrol. Hak milik indivudu juga bermakna bahwa seseorang memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang dia miliki, sebagaimana dia pun memiliki otoritas atas sejumlah aktivitas yang menjadi pilihannya. Karena itu, kita menemukan bahwa pembatasan hak milik tersebut sesuai dengan ketentuan perintah dan larangan Allah merupakan perkara yang wajar.
Ketika membatasi suatu kepemilikan. Islam tidak membatasinya berdasarkan kuantitasnya, melainkan berdasarkan mekanisme (cara perolehan)-nya. Pembatasan kepemilikan berdasarkan mekanisme (cara perolehan)-nya tampak pada beberapa hal berikut ini:
1.                  Dengan cara membatasi kepemilikan dan segi sebab-sebab kepemilikan dan pengembangan kepemilikannya; tidak membatasi jumlah harta yang dimiliki.
2.                  Dengan cara membatasi mekanisme pengelolaan kepemilikan
3.                  Dengan cara menyerahkan tanah kharajiyah sebagai milik Negara, bukan sebagai hak milik individu
4.                  Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa dalam kondisi-kondisi tertentu.
5.                  Dengan cara member orang yang memiliki keterbatasan faktor produksi sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
Undang-undang syariah telah menjadikan perlindungan hak milik individu tersebut sebagai kewajiban Negara. Undang-undang sayariah juga telah menjadikan penghormatan dan pemeliharaan hak milik individu yang tidak boleh diciderai sebagai perkara yang pasti.
Undang-undang syariah telah menetapkan sejumlah sanksi hokum yang bersifat preventif, termasuk sejumlah kontrol yang bersifat mendidik (edukatif) untuk mencegah munculnya ambisi-ambisi untuk memiliki harta kekayaan yang bukan menjadi haknya serta untuk memiliki hak milik orang lain.
Walhasil, harta yang halal adalah harta yang bisa diterapkan padanya makna kepemilikan. Sebaliknya, harta yang haram bukanlah harta milik dan tidak bisa diterapkan padanya makna kepemilikan.

SEBAB – SEBAB KEPEMILIKAN

Harta (al-mal) adalah apa saja yang bisa menjadi kekayaan, apapun bentuknya. Sebab kepemilikan (sabab at-tamalluk) harta adalah sebab yang bisa menjadikan seseorang memilki harta tersebut, yang sebelumnya bukan menjadi hak miliknya.
Karena itu, Ada perbedaan antara sebab-sebab kepemilikan dan sebab-sebab pengembangan kepemilikan. Sebab-sebab kepemilikan adalah perolehan harta untuk pertama kalinya atau perolehan harta pada asalnya (yang sebelumnya belum dimiliki, peny). Sebab-sebab pengembangan kepemilikan adalah perbanyakan kuantitas harta yang sedah dimiliki; artinya harta tersebut memang sudah ada, hanya kemudian dikembangkan dan ditingkatkan jumlahnya.
Dengan demikian, sebab kepemilikan adalah sebab-sebab perolehan harta asal (yang sebelumnya belum dimiliki). Sedangkan sebab pengembangan kepemilikan adalah sebab-sebab untuk meningkatkan jumlah harta asal, yang sebelumnya diperoleh malalui salah satu sebab kepemilikan.
Kepemilikan atas harta didasarkan pada sebab-sebab syariah yang telah ditentukan oleh Asy-Sydri’ (Allah SWT) dengan suatu sebab tertentu, yang tidak boleh dilanggar. Artinya, sebab kepemilikan harta telah dibatasi oleh batasan yang telah dijelaskan oleh syariah.
Kepemilikan individu merupakan salah satu gejala dari naluri manusia mempertahankan diri (survival instinct); sebagaimana halnya pernikahan merupakan salah satu penambahan dari naluri melestarikan keturunan (sexual instinc), juga sebagaimana halnya ibadah merupakan salah satu penampakan dari naluri bagaimana (religious instinct)
Sebab-sebab kepemilikan harta terbatas pada lima sebab berikut ini :
1.                  Bekerja
2.                  Pewarisan
3.                  Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
4.                  Pemberian harta untuk rakyat
5.                  Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang tanpa mengeluarkan kompensasi berupa harta atau tenaga.
Sebab Kepemilikan yang Pertama
A.                Bekerja
Kata bekerja sangat luas maknanya, beraneka ragam jenisnya, bermacam-macam bentuknya serta berbeda-beda hasilnya. Karena itulah, Asy-Sydri’ tidak menetapkan kata bekerja dengan bentuk yang umum. Namun, Asy-Sydri’ telah menetapkannya dalam bentuk kerja-kerja tertentu. Kemudian menetapkannya, Asy-Sydri’ menjelaskan kerja-kerja tersebut berikut jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebagai sebab kepemilikan.
Sebab kepemilikan harta adalah kerja-kerja berikut:                                                  
1.                  Menghidupakn tanah mati
2.                  Menggali kandungan dalam perut bumi ataupun di udara
3.                  Berburu
4.                  Makelar/Broker
5.                  Mudharabah (kerjasama usaha yang menggabungkan harta/modal dengan tenaga) 
6.                  Musaqat (mengairi lahan pertanian)
7.                  Ijarah (kontrak kerja)

1.                  Menghidupkan tanah mati
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Yang dimaksud dengan menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) adalah mengolahnya, menanaminya, atau nmendirikan bangunan di atasnya. Menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun, yang bisa menjadikan tanah tersebut hidup.

2.                  Menggali kandungan bumi
Yang termasuk kategori bekerja, adalah menggali apa saja yang terkandung dalam perut bumi, yang bukan merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas masyarakat, atau yang disebut rikdz, ataupun yang bukan merupakan harta milik umum seluruh kaum Muslim, sebagaimana yang dinyatakan dalam ketetapan fikih. Adapun jika harta hasil penggalian tersebut merupakan harta yang dibutuhkan oleh komunitas masyarakat, atau merupakan hak seluruh kaum Muslim, maka galian tersebut termasuk dalam kepemilikan umum collective property).

3.                  Berburu
Berburu ikan, mutiara, batu permata, bunga karang serta harta yang diperoleh dari hasil buruan laut lainnya bisa dimiliki oleh orang yang memburunya. Ini berlaku sebagaimana halnya dalam perburuan burung dan hewan-hewan yang lain.

4.                  Makelar (Samsarah) dan Pemandu (Dalalah)
Simsar (makelar/broker/pialang) adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengahn mendapatkan upah, baik untuk keperluan menjualkan ataupun membelikan. Pemandu pun adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah, baik untuk keperluan menjualkan maupun membelikan. Makelar (samsarah) termasuk dalam kategori bekerja yangbisa dipergunakan untuk memiliki harta secara sah menurut syariah.

5.                  Mudharabah
Mudharabah adalah perseroan (kerjasama) antara dua orang dalam suatu perdagangan. Modal (investasi) financial dari satu pihak, sedangkan pihak lain memberikan tenaga. Dengan kata lain, mudharabah adalah meleburnya badan (tenaga) di satu pihak dengan harta dari pihak lain. Artinya, satu pihak bekerja, sedangkan yang lain menyerahkan harta. Kedua belah pihak kemudian sepakat mengenai prosentase tertentu dari hasil keuntungan yang diperoleh, semisal 1:3 (33,3%) dari laba atau ½ (50%) dari hasil keuntungan.
Mudharabah juga merupakan salah satu bentuk perseroan karena merupakan perseroan badan (tenaga) dengan harta. Perseroan adalah salah satu bentuk muamalah yang telah dinyatakan kebolehannya oleh syariah.
Dalam system mudharabah, pihak pengelola memiliki bagian npada harta pihak lain karena kerja yang dilakukannya. Sebab, mudharabah bagi pihak pengelola termasuk dalam kategori bekerja serta merupakan salah satu sebab kepemilikan. Akan tetapi, mudharabah bagi pihak pemilik modal (investor) tidak termasuk dalam kategori sebab kepemilikan, melainkan merupakan salah satu sebab pengembangan kekayaan.

6.                  Musaqot
Musaqot adalah seseorang memnyerahkan pepohonan (kebun-dua kepada orang lain agar ia menyiraminya serta melakukan kerja apapun yang dibutuhkan untuk itu (mengurus dan merawatnya).

7.                  Ijarah (Kontrak Kerja)
Islam membolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh yang bekerja untuk dirinya. Bentuk pekerjaannya juga harus ditetapkan, semisal menggali tanah, menopang atau melunakkan benda, menempa besi, memecah batu, mengemudikan mobil, atau bekerja di penambangan. Yang juga harus dijelaskan adalah kadar tenaganya.

7.1.2.      Jenis Pekerjaan
Transaksi ijarah boleh dilakukan dalam perdagangan, pertanian, industry, pelayanan, perwakilan, menyampaikan jawaban dari salah satu pihak yang berperkara, baik sebagai pihak penuntut ataupun yang dituntut, termasuk melakukan penyidikan, serta menyampaikan hasil penyidikan kepada hakim, menuntut hak, dan memberikan keputusan di antara manusia. Kategori ijarah adalah manggali sumber dan pondasi bangunan, mengemudikan mobil dan pesawat, mencetak buku, menerbitkan Koran, memindahkan kendaraan dan sebagainya.

7.1.3        Waktu Kerja
Dalam transaksi ijarah juga harus disebutkan waktunya. Akan tetapi, tidak ada keharusan agar waktu kontrak tersebut seiring dengan transaksinya, melainkan misalnya, kalau dia dikontrak untuk bulan Rajab, padahal ketika itu dia berada di bulan Muharram, maka transaksi ijarah tersebut tetap sah.
Apabila waktu tersebut harus disebutkan dalam transaksi, dengan kata lain, menyebutkan waktu tersebut merupakan sesuatu yanh urgen untuk menafikan ketidakjelasannya, maka waktunya harus dibatasi dengan jangka waktu tertentu, semisal satu menit, satu jam, satu minggu, satu bulan, ataupun satu tahun.
7.1.4    Gaji/honor kerja
Kompensasi ijarah (upah, honor, gaji) boleh tunai dan boleh tidak, boleh dalam bentuk harta ataupun jasa. Intinya, apa saja yang bisa dinilai dengan harga boleh dijadikan sebagai kompensasi, dengan syarat harus jelas. Apabila tidak jelas maka transaksinya tidak sah.
Apabila telah disyaratkan dalam akad bahwa gaji diberikan dengan suatu tempo maka ia harus diberikan sesuai dengan temponya. Apabila telah disyaratkan gaji diberikan harian, bulanan, atau kurang dari itu. Ataupun lebih, maka gaji tersebut tetap harus diberikan sesuai dengan kesepakatan tersebut.

7.1.5    Tenaga yang dicurahkan saat bekerja
Upah adalah kompensasi dari suatu jasa, bukan kompensasi dari jerih payah (tenaga)
Upah bisa berbeda-beda dan beragam karena berbeda dan beragamnya pekerjaan. Karena itu, upah dalam suatu pekerjaan juga berbeda-beda. Upah akan mengalami perbedaan karena perbedaan nilai jasanya, bukan karena perbedan jerih payah (tenaga)-nya.
7.2       Hukum Mengontrak Jasa yang Diharamkan
Syarat sah akad ijarah adalah bahwa jasa yang dikontrak harus jasa yang halal. Tidak boleh seorang pekerja untuk memberikan jasa yang haram. Karena itu, tidak boleh mengntrak seorang pekerja untuk mengirim minuman keras kepada pembeli, untuk memerasnya, atau untuk mengangkut babi dan bangkai.

7.3               Hukum Mengontrak Tenaga Non-Muslim
Tidak disyaratkan ajir dan musta’jir kedua-duanya harus Muslim atau salah satunya Muslim.artinya, secara mutlak seorang muslim boleh mengontrak orang non-muslim.
Adapun pekerjaan-pekerjaan yang di dalamnya terdapat upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka disyaratkan pekerjaannya harus muslim, seperti menjadi imam, muazin, haji, membayarkan zakat, mangajar al_Qur’an dan al-Hadis.

7.4              Mengontrak Tenaga dalam Hal Ibadah dan Jasa Umum
Definisi ijarah adalah transaksi terhadap jasa tertentu dengan suatu/kompensasi, dengan syarat jasa tersebut merupakan sesuatu yang bisa diperoleh oleh seorang majikan.

7.5              Siapa yang Disebut dengan Ajir (Pekerja)
Syariat Islam menganggap ajir (pekerja) adalah setiap orang yang bekerja dengan upah (honor) tertentu, baik yang mempekerjakan (musta’jir)-nya pribadi, jamaah maupun Negara.

7.6              Asas yang Mendasari Penentuan Gaji
Ijarah adalah akad/transaksi terhadap jasa tertentu dengan suatu kompensasi. Syarat tercapainya akad/transaksi ijarah adalah kelayakan orang yang melakukan akad, yaitu: masing-masing telah mumayyiz (usia pra-balig); adanya keridhaan kedua belah pihak yang melakukan akad/transaksi: upahnya harus jelas.
Upah bisa diklarifikasikan menjadi dua:
(1) upah yang telah disebutkan (ajr(un) musamma):
(2) upah yang sepadan (ajr al-mitsl).
Adapun upah yang sepadan (ajr al-mitsli) adalah upah yang sepadan dengan kerja maupun pekerjaannya sekaligus jika ajad ijarah-nya menyebutkan jasa kerjanya. Upah yang sepadan adalah upah yang sepadan dengan pekerjaannya saja jika akad ijarah-nya menyebutkan jasa pekerjaannya.

7.7              Perkiraan Gaji Pekerja
Secara alami manusia akan terdorong untuk mencurahkan tenaga untuk menghasilkan harta yang bisa digunakan untuk menyambung hidupnya. Indinidub yang hidup dalam suatu masyarakat akan mencurahkan tenaganya dalam rangka menghasilkan harta untuk bisa langsung dihabiskan dan ditukar, bukan mencurahkan tenaganya untuk sekedar menghabiskannya secara langsung.
Tidak ada hubungan antara upah seorang pdan nilai suatu barang, termasuk antara upah seorang pekerja dan beban produksi, dan antara upah seorang pekerja dan taraf hidupnya. Akan tetapi, upah merupakan fenomena lain yang terpisah. Sebab, upah merupakan kadar yang barhak dimiliki oleh suatu kegunaan atau jasa yang diperoleh oleh seorang musta’jir dari kegunaan tersebut.
Jadi, tinggi-rendahnya upah seseorang dalam suatu pekerjaan itu semata-mata dikembalikan pada tingkat kesempurnaan jasa atau kegunaan tenaga yang mereka berikan

B.                 Waris
Di antara yang termasuk dalam kategori sebab-sebab kepemilikan harta adalah waris.
Waris adalah salah satu sarana untuk membagikan kekayaan
Ada tiga kondisi yang menjadi pedoman dalam mendermakan kekayaan dalam masalah waris:
1.                  Kondisi pertama: jika ahli waris yang ada bisa menghabiskan semua harta waris-yang ditinggalkanmayit-sesuai dengan hokum-hukum waris.
2.                  Kondisi kedua: jika di sana tidak terdapat ahli waris yang bisa menghabiskan semua harta waris sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Misal : jika si mayit hanya meninggalkan seorang istri, atau si mayid hanya meninggalkan seorang suami, maka istri yang ditinggalkan hanya berhak mendapatkan ¼ harta pusaka, dan selebihnya siserahkan kepada Baitul mal 
3.                  Jika tidak terdapat ahli waris sama sekali. Dalam kondisi semacam ini, semua harta pusaka yang ada diserahkan kepada Baitul Mal atau Negara.

C.                Kebutuhan akan Harta untuk Menyambung Hidup
Di antara sebab-sebab kepemilikan yang lain adalah adanya kebutuhan akan harta untuk menyambungg hidup. Sebab, hidup adalah hak setiap orang. Seseorang wajib untuk mendapatkan kehidupan ini sebagai haknya, bukan sebagai hadiah ataupun belas kasihan.
Ketika hidup dianggap sebagai salah satu sebab untuk mendapatkan harta, maka syariah tidak menganggap bahwa mengambil makanan (orang lain, peny.) dalam kondisi kelaparan termasuk dalam kategori mencuri yang pelakunya harus dipotong tangannya.

D.                Pemberian Harta Negara kepada Rakyat
Yang juga termasuk dalam sebab kepemilikan adalah pemberian Negara (I’tha’ ad-dawlah) kepada rakyat yang diambil dari harta Baitul Mal. Baik dalam rangka memenuhi hajat hidup ataupun demi memanfaatkan kepemilikan mereka.

E.                 Harta yang Diperoleh Tanpa Kompensasi Harta atau Tanaga
Yang termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah perolehan individu atau sejumlah harta tertentu tanpa kompensasi harta atau tenaga apa pun. Perolehan semacam ini mencakup lima hal.
Pertama: Hubungan antar individu satu sama lain, baik hubungan ketika masih hidup, seperti hibah dan hadiah, ataupun hubungan sepeninggal mereka, seperti wasiat.
Kedua: Menerima harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemadaratan yang menimpa seseorang. Diyat (denda) atas orang yang terbunuh dan luka (dibunuh atau dilukai orang. Peny.)
Ketiga: Memperoleh mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah. Seorang wanita akan memiliki harta (mahar) ini secara rinci berdasarkan hukum-hukum pernikahan.
Keempat: Barang temuan (luqathah). Apabila seseorang menemukan barang temuan maka harus diteliti terlebih dahulu: Apabila barang tersebut memungkinkan untuk disimpan dan diumumkan-semisal emas, perak, permata dan pakaian-dan bukan milik orang yang sedang berihram (berhaji) maka barang temuan tersebut boleh dimiliki.