Kamis, 09 Desember 2010

MASALAH POTENSI PENERIMAAN BATU BARA DALAM KONSEP ISLAM

MAKALAH

EKONOMI SYARI’AH

MASALAH POTENSI PENERIMAAN DALAM KONSEP ISLAM



DISUSUN OLEH :

JAINI C1A108029

SUHAIDI C1A108073

RICKY SAPUTERA C1A108065

RIDHO ROYANNI C1A108209

NIZAR ADYTIA ROZANNI C1A108075



UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS EKONOMI

BANJARMASIN

2010


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya,Areal hutan Indonesia termasuk paling luas di dunia; tanahnya subur,alamnya indah.Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut menakjubkan. Wilayah perairannya sangat luas, belum lagi kandungan ikan yang diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, mutiara, minyak dan kandungan mineral lainnya,termasuk didalamnya keindahan alam bawah laut.

Sumber daya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan berkah yang semestinya. Berdasarkan hal ini sangat bisa dimengerti, mengapa negara kaya seperti Indonesia penduduknya harus menjadi miskin papa laksana ‘ayam mati di dalam lumbung beras.

Seperti yang akan kami bahas ini masalah “menggali potensi penerimaan harta milik umum dari pertambangan batubara dikalsel. Batubara atau batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan.

Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit. Pembentukan batu bara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu (jtl), adalah masa pembentukan batu bara yang paling produktif dimana hampir seluruh deposit batu bara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk. Di Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang Di Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan).

Pada dasarnya pemerintah yang hanya meminjam dari negara atas hak pengelolaan tambang (mining right), semestinya harus berjuang bagaimana batubara yang notabene hak milik rakyat (mineral right) dan jelas tertulis di UUD 45 (33), dapat diciptakan sebagai lumbung energi bagi kepentingan nasional.

Padahal logikanya dengan sumber daya alam yang sangat berlimpah ini akan mampu menjadi penopang perekonomian dan juga sebagai penggerak perekonomian dan juga kesejahteraan masyarakat sekitar tambang, namun harapan itu ternyata berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sekarang. Mengambil sebuah kata dari para ekonom dunia “the resource curse atau the paradox of plenty”, yang merupakan gambaran bahwa sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam namun ternyata kekayaan itu bukan menjadi sebuah kekayaan bagi kita semua namun makah berubah menjadi bencana lingkungan dan social.


















BAB II

FAKTA PERMASALAHAN

Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).

Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan hasilnya kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadis tersebut, Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”.

Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasul mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.

Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul saw. mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:

“Adapun pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh. Sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh, lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang berarti barang tambang tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali karena sunah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Untuk itu, beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.

Penarikan kembali pemberian Rasul saw. dari Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadis dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam). Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Haris Al-Muzni dari kabilahnya, serta hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan, “Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung maupun tambang” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadis Abyadh ini. Hadis di atas mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal kandungannya terbatas sehingga boleh diberikan. Hal ini sebagaimana Rasulullah pertama kali memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh. Akan tetapi, kebolehan pemberian barang tambang ini jangan diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang terus mengalir. Jadi, jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.

Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah, seperti garam, batu bara, dan sebagainya; maupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh, kecuali dengan usaha keras, seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, dan sejenisnya, termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, seperti kristal maupun berbentuk cair, seperti minyak, semuanya adalah barang tambang yang termasuk ke dalam pengertian hadis di atas.

Benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk dimiliki oleh pribadi saja, maka benda tersebut termasuk milik umum. Namun, meski termasuk ke dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya. Oleh karena itu, benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu.

PERMASALAHAN

Produksi batubara Kalsel yang mencapai 78 juta ton/tahun, jumlah yang sangat lah besar, namun pada kenyataannya saat ini 70% batubara itu diekspor ke luar negeri, 29% dikirim ke pulau jawa, dan yang semakin ironis adalah keuntungannya tidaklah berputar di kalsel namun hanya dinikmati segelintir orang saja di Jakarta dan sebagian di kalsel. Kalau kita hitung secara matematis, dengan harga batubara 100 dollar per metrik ton, batubara kalsel dapat menghasilkan keuntungan mencapai 8 trilyun/tahun atau 4 kali lipat dari APBD yang cuma” 1,8 trilyun/tahun.Namun ternyata yang didapat daerah tidak lah sebanyak yang kita pikirkan, menurut pemerintah kalsel hasil royalti yang didapat dari batubara “hanya” 85 milyar saja pada tahun 2008 lalu, padahal keuntungan yang didapat dari ekspor batubara kalsel di triwulan awal tahun 2009 ini saja mencapai 338,3 juta US dollar atau mencapai 3,38 trilyun rupiah. Wow, sebuah angka yang sangat fantastis untuk 3 bulan pertama saja, bahkan jauh melampaui APBD Kalsel.



BAB III

ANALISIS PERMASALAHAN KEPEMILIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

KEPEMILIKAN MENURUT ISLAM

Kepemilikan adalah tata cara yang ditempuh oleh manusia untuk memperoleh kegunaan (manfaat) dari jasa ataupun barang.

Jenis jenis kepemilikan antara lain adalah :

1. Kepemilikan individu(al-milkiyah al-fardhiyah.

Kepemilikan indivu adalah ijin dari Allah swt kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu.

2. Kepemilikan umum(al-Milkyah al-amah)

Adalah izin dari as_Syari’ kepada jemaah(masarakat)untuk secara bersama sama memanfaatkan sesuatu.

3. Kepemilikan Negara(al-milkyah ad-dawlah)

Adalah kepemilikan setiap harta yang pengeloloaan nya diwakilkan pada khlifah sebagai Negara.

Orang yang menggali kandungan bumi apa saja yang terkandung dalam perut bumi yang bukan merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas masyarakat yang disebut rikaz, ataupun yang bukan merupakan harta milik umum seluruh kaum muslim, sebagaimana yang dinyatakan dalam ketetapan fikih. Orang yang menggalinya berhak atas 4/5 bagan, sedangkan 1/5-nya harus dia keluarkan sebagai khumus. Adapaun jika harta hasil penggalian tersebut merupakan harta yang dibutuhkan oleh komunitas masyarakat, atau merupakan hak seluruh kaum muslim. Maka harta galian tersebut termasuk dalam kepemilikan umum (collective property). Ketentuannya demikian: apabila harta yang tersimpan di dalam tanah tersebut asalnya karena tindakan seseorang dan jumlahnya terbatas, tidak sampai mencapai jumlah yang biasa dibutuhkan oleh suatu komunitas, maka harta tersebut termasuk rikaz. Apabila harta tersebut asli (dari dasar tanah, bukan karena tindakan manusia) serta dibutuhkan oleh suatu komunitas. Maka harta tersebut tidak termasuk dalam kategori rikaz, dan harta tersebut menjadi hak milik umum (collective property).

































BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN
Melihat dari hasil ekspor dan APBD kalsel,yang didapat daerah hanya lah “seujung kuku” dari yang keuntungan yang dinikmati oleh para pengusaha pertambangan itu.Dengan memahami ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya, bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara. Selain itu, negara diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam pembiayaan pembangunan negara. Saya kira ada beberapa hal mendasar yang seharusnya dapat dijadikan pedoman pemerintah dalam mengelola sumber daya alam yang sangat melimpah di bumi antasari ini. Pertama, sumberdaya alam adalah semestinya milik rakyat yang dikelola oleh negara, sehingga peruntukannya pun adalah untuk rakyat. Sehingga masyarakat pun berhak untuk menolak ataupun menerima investor untuk mengelola lahan asalkan berpihak pada masyarakat. Kedua, adanya kepastian tentang kepemilikan lahan, khususnya lahan masyarakat adat dan lahan yang telah dikelola masyarakat selama puluhan tahun diwilayah-wilayah yang dulunya tidak berada pada jangkauan kepemilikan hukum legal negara. Ketiga, terkait persoalan royalti batubara, harus diperhitungkan lagi bagaimana pembagiannya untuk pemerintahan daerah dan pemerintah pusat, dengan tetap memperhatikan daerah lain yang sumberdaya alamnya kurang, sehingga tetap harus proporsional dan transparan.