Minggu, 31 Oktober 2010

Berapa Utang Pemerintah Indonesia?

Berapa Utang Pemerintah Indonesia?

Oleh Hidayatullah Muttaqin



Jurnal-ekonomi.orgBerapakah utang pemerintah Indonesia pada tahun ini? Menurut Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi Oktober 2010, jumlah seluruh utang pemerintah mencapai US$ 185,3 milyar. Bila dirupiahkan dengan kurs Rp 9000/ US dollar, maka utang negara kita mencapai Rp 1.667,70 trilyun. Jika dibagi jumlah penduduk Indonesia 237,556  juta jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, maka setiap penduduk Indonesia memikul utang negara sebesar Rp 7 juta.
Utang Pemerintah Indonesia
Jurnal-ekonomi.org
Dalam sepuluh tahun terakhir, utang pemerintah berkembang pesat dari US$122,42 milyar pada tahun 2001 menjadi US$185,3 milyar pada tahun 2010. Selama periode tersebut utang negara bertambah US$ 61,88 milyar atau setara Rp 556,92 trilyun.
Dengan demikian selama sepuluh tahun terakhir pemerintahan 3 rezim; Gusdur, Megawati, dan SBY, negara tidak memiliki kemampuan mengurangi ketergantungan terhadap utang apalagi menghilangkannya. Justru utang negara meningkat 50,56% atau hampir setengah dari jumlah utang tahun 2001.
Pemerintahan SBY yang sudah memasuki dua periode jabatan, memiliki andil besar dalam menggelembengkuan utang negara. Sejak tahun 2004 hingga 2010, utang negara bertambah US$45,42 milyar dollar atau sekitar Rp 408,78 trilyun. Jadi dari 50,56% peningkatan utang negara sejak 2001, pemerintahan SBY menyumbangkan peningkatan utang sebesar 37,10%. Jika dihitung sejak tahun 1970 dengan jumlah utang pemerintah pada saat itu mencapai US$2,77 milyar, maka utang negara selama 40 tahun terakhir bertambah sebesar 6.589,53%.
Utang pemerintah tersebut terdiri atas utang luar negeri dan utang dalam negeri. Utang dalam negeri merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pinjaman pemerintah dalam bentuk surat utang atau obligasi.
Perkembangan utang pemerintah terutama sejak masuknya IMF pada era reformasi meningkat drastis. Peningkatan tersebut didorong oleh biaya BLBI dan paket rekapitalisasi perbankan yang menelan biaya pokok Rp 650 trilyun. Biaya ini atas perintah IMF diaktuaisasikan pemerintah dalam bentuk Surat Utang Negara atau disebut juga obligasi rekap.
Selanjutnya, pemerintah menjadikan instrumen surat utang untuk mendanai APBN. Sehingga jika sebelumnya pemerintah hanya mengandalkan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan APBN, maka penjualan surat utang negara pun menjadi andalan utama pemerintah dalam berutang.
Sebagai negara yang kaya sumber daya manusia dan sumber daya alam, dengan letak yang sangat strategis, menjadi sangat ironis negara ini hidupnya bergantung pada utang. Pertanyaan bagi kita; kemana potensi sumber daya manusia Indonesia? Kemana potensi sumber daya alam yang melimpah perginya? Tentu ada yang salah dengan sistem ekonomi dan ideologi yang diterapkan di negeri kita. Inilah yang harus direnungkan dan dipecahkan. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS]
REFERENSI
Direkrorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2010. Perkembangan Utang Negara (Utang Luar negeri dan Surat Berharga Negara) Edisi Oktober 2010.

Keberhasilan Semu Pemerintah dalam Pertumbuhan Ekonomi

Keberhasilan Semu Pemerintah dalam Pertumbuhan Ekonomi



Foto: Antara
Jurnal Ekonomi Ideologis – Keberhasilan pemerintah dalam menggerek pertumbuhan ekonomi diakui pengamat ekonomi dalam setahun pemerintahan SBY-Boediono. Menurut Fahmi Radhi dari Universitas Gajah Mada sebagaimana dipetik AntaraNews.com (21/10),  pemerintah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga di atas enam persen. Namun Fahmi mnyimpulkan, bahwa pencapaian target pertumbuhan tersebut tidak dapat menggerakkan sektor riil dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
FAHMI:
“Namun, pencapaian indikator makro itu belum mampu menggerakkan sektor riil, dan tidak berperan secara signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat”.
Ini ironi, keberhasilan pemerintah tidak mengakibatkan menurunnya pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang dikejar pemerintah justru menyebabkan semakin lebarnya tingkat kesenjangan ekonomi di Indonesia.
Di samping tidak berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, rakyat juga harus membayar ongkos pertumbuhan ekonomi dengan semakin beratnya beban hutang pemerintah Indonesia. Fahmi mengungkapkan, pada bulan April hutang obligasi pemerintah telah mencapai Rp 1.015 trilyun sedangkan hutang luar negeri Rp 573 trilyun. Tota keseluruhan hutang pemerintah setara dengan US$ 63,54 trilyun.
Direktur Eksekutif Mubyarto Institut ini meminta pemerintah untuk menghentikan hutang luar negeri, privatisasi BUMN, liberalisasi ekonomi. Pemerintah juga harus mengembalikan aset strategis yang telah dijual, reformasi agraria, revitalisasi pertanian, renegosiasi kontrak karya yang tidak sesuai konstitusi. Termasuk mengkaji ulang undang-undang yang merugikan kepentingan rakyat.
Dari pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya keberhasilan pemerintah dalam indikator makro ekonomi tidak berdampak pada sektor riil dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru kesenjangan semakin lebar.
Begitu pula kebijakan pemerintah bersifat pro kapitalis dan anti rakyat. Berbagai sumber daya dan aset yang sangat vital diobral kepada investor sedangkan undang-undang yang dibuat berisi semangat liberalisme.
Kebijakan dan undang-undang yang liberal tersebut jelas mengancam kehidupan rakyat dan keutuhan negeri kita. Pertanyaannya, mengapa hal ini dilakukan oleh pemerintah?
Sesunggugguhnya sistem ekonomi yang diterapkan di negeri kita adalah sistem ekonomi Kapitalis yang diadopsi dari Barat. Penerapan sistem ekonomi ini merupakan faktor yang menyebabkan 65 tahun kemerdekaan Indonesia tidak dapat memajukan Indonesia dan mensejahterakan rakyat. Sebab yang terjadi adalah penghisapan dan eksploitasi. Kapitalisme sendiri merupakan ideologi imperialis sehingga penerapannya di Indonesia membuat negeri kita terkurung dalam penjajahan modern (neo imperialisme).
Kapitalisme dan Liberalisme merupakan ideologi transnasional yang berasal dari negara-negara penjajah. Inilah ancaman nyata bagi negeri kita. Selama ideologi ini diadopsi, maka selama itu pula dihisap dengan menampakkan keberhasilan-keberhasilan semu untuk mengkelabui rakyat. Karena itu penting sekali bagi kita untuk memikirkan ulang ideologi yang tepat untuk Indonesia dan meremove Kapitalisme. []
REFERENSI
Antranews.com (21/10/2010), Pengamat: Pemerintah Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi.

Bunuh Diri Ekonomi Indonesia

Bunuh Diri Ekonomi Indonesia

Oleh Hidayatullah Muttaqin


Mulai 1 Januari 2010, Indonesia harus membuka pasar dalam negeri secara luas kepada negara-negara ASEAN dan China. Begitu pula sebaliknya, dikatakan Indonesia mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memasuki pasar dalam negeri negara-negara tersebut.
Pembukaan pasar ini merupakan realisasi perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam) dengan China atau ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Pro Kontra Pasar Bebas ASEAN-China
Dengan dimulainya perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN plus China tahun ini, maka berbagai konsekwensi pun harus ditanggung Indonesia. Pihak yang pro ACFTA menyatakan ACFTA tidak berarti hanya ancaman invasi produk-produk China tetapi juga peluang Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke China dan negara-negara ASEAN.
Purbaya Yudi Sadewa dari Danareksa Research Institute menyimpulkan meski ada dampak negatif terhadap sektor tertentu, secara keseluruhan dampak positif lebih besar. Karena itu Purbaya menyarankan Indonesia tidak perlu menarik diri dari liberalisasi ini (Kompas, 4/1/2010).
Kekhawatiran akan dampak negatif perdagangan bebas ASEAN-China juga ditepis pemerintah melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu. Menurut Abimanyu, proporsi perdagangan antara Indonesia dengan ASEAN dan China hanya 20% saja.
Sementara itu Ernovian G Ismy, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia menyatakan kekhawatirannya atas pemberlakukan perdagangan bebas ASEAN-China. Ernovian mengkhawatirkan berubahnya pola usaha yang ada dari pengusaha menjadi pedagang. Sebab jika berdagang lebih menguntungkan karena faktor harga barang-barang impor yang lebih murah, akan banyak industri nasional dan lokal yang gulung tikar hingga akhirnya berpindah menjadi pedagang saja (Republika, 4/1/2010).
Ernovian mencontohkan jumlah industri tekstil dari kelas industri kecil hingga besar bisa mencapai 2.000. Jika setiap industri tekstil mampu menyerap 12-50 orang tenaga kerja, maka bisa dibayangkan hancurnya kita karena akan banyak pengusaha yang beralih dari produsen tekstil menjadi pedagang yang juga berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia, Djimanto menilai ada tujuh sektor yang paling terpengaruh dengan serbuan produk-produk China, antara lain industri tekstil, alas kaki, pertanian, dan baja. Sedangkan mantan Dirjen Bea Cukai, Anwar Surijadi mempertanyakan manfaat pemberlakukan perdagangan bebas ini bagi masyarakat. Anwar merisaukan hal ini karena industri Indonesia akan terganggu (Republika, 4/1/2010).
Hal yang sangat dikhawatirkan mengenai dominasi China terhadap Indonesia disampaikan Menteri Perindustrian MS Hidayat. Menurut Hidayat dalam kerangka ACFTA yang berlatarbelakang semangat bisnis, China bisa berbuat apa pun untuk mempengaruhi Indonesia mengingat kekuatan ekonominya jauh di atas Indonesia (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Membunuh Ekonomi Nasional
Sebelum realisasi perjanjian perdagangan bebas dengan China, kita sudah mendapatkan hampir segala lini produk yang dipergunakan di rumah dan perkantoran saja bertuliskan made in China. Bahkan tidak sedikit produk dari negara maju yang masuk ke Indonesia pun mengikutsertakan produk China sebagai perlengkapannya. Seorang ekonom yang juga pejabat menteri ekonomi di kabinet pemerintahan sekarang mengomentari serbuan produk China ke Indonesia dengan dimulainya perdagangan bebas Indonesia-China “seperti air bah”.
Karena itu pemberlakuan pasar bebas ASEAN-China sudah pasti menimbulkan implikasi yang sangat negatif. Pertama, invasi produk asing terutama dari China di tengah lemahnya infrastruktur ekonomi, modal, daya saing, dan dukungan pemerintah, dapat menyebabkan hancurnya sektor-sektor ekonomi yang diserbu.
Sektor industri pengolahan (manufaktur) dan industri kecil menengah (IKM) merupakan sektor ekonomi yang paling terkena dampak realisasi perjanjian perdagangan bebas ini. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi.
Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Begitupula diproyeksikan 5 tahun ke depan investasi di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM.
Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar.  Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya dikatagorikan akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari China (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Kedua, pasar lokal dan nasional yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja.
Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) China lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah pilihan pragmatis dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil China atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, “buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing, lebih baik impor saja murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri”.
Inilah fenomena yang mulai nampak sebagaimana yang akhir-akhir ini ditayangkan televisi nasional sejak awal tahun 2010. Misalnya para pedagang jamu sangat senang dengan membanjirnya produk jamu China secara legal yang harganya murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan jamu lokal. Akibatnya produsen jamu lokal terancam gulung tikar.
Ketiga, kondisi ini akan membuat karakter perekomian nasional semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing, bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor sedangkan sektor-sektor vital ekonomi nasional juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi nasional Indonesia?
Keempat, jika di dalam negeri saja kalah bersaing bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan China? Data menunjukkan tren pertumbuhan ekspor non  migas Indonesia ke China sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%. Ini lebih kecil dengan tren pertumbuhan ekspor China ke Indonesia yang mencapai 35,09%.
Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat memungkinkan berkembang justru ekspor bahan mentah bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh China yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.
Secara umum, neraca perdagangan Indonesia dengan China dan negara-negara anggota ASEAN semakin defisit sebagaimana data ekspor-impor Indonesia yang baru dirilis BPS. Ekspor Indonesia ke China selama Januari-November 2009 mencapai US$ 7,71 miliar sedangkan impornya US$ 12,01 miliar. Dengan Singapura, ekspor Indonesia tahun 2008 US$ 12,86 miliar dan impor US$ 21,79 miliar. Indonesia juga mengalami defisit neraca dagang dengan Thailand sebesar US$ 2,67 sedangkan dengan Malaysia defisit US$ 2,49 miliar (Kompas, 5/1/2010). Ini sangat mengkhawatirkan di tengah arus liberalisasi perdagangan yang dijalankan Indonesia.
Kelima, terpangkasnya peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional karena perannya digantikan impor dampaknya juga menimpa penyediaan lapangan kerja. Tentu ini sangat memberatkan para pekerja dan pendatang baru dunia kerja. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang sedangkan pada periode Agustus 2009 jumlah pengangguran terbuka mencapai 8,96 juta orang.
Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Liberalisasi adalah proses untuk menghilangkan peran pemerintah dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan menyerahkannya pada peranan pasar (baca: kaum pemilik modal).
Dalam Islam, peran pemerintah di tengah-tengah masyarakat adalah paten sebagaimana hadist Rasulullah SAW yang berbunyi: “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” Artinya negara tidak boleh melepaskan tanggungjawabnya terhadap segala urusan rakyat sebagaimana spirit dan aplikasi liberalisasi ekonomi yang justru mengharuskan diamputasinya peran negara.
Kita menyaksikan pemerintah telah melakukan “keteledoran luar biasa” dengan melakukan perjanjian ACFTA sebagaimana perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang telah dilakukan pemerintah. Seakan-akan pemerintah tidak berpikir dulu apa baik dan buruknya dalam setiap perjanjian internasional yang mereka teken. Yang kita lihat justru pemerintah sangat berbangga di hadapan asing dalam setiap keikutsertaannya menandatangani perjanjian liberalisasi ekonomi. Sementara yang kita saksikan dan rasakan kehidupan ekonomi rakyat semakin terhimpit sedangkan kemandirian negara semakin lemah. Perjanjian perdagangan bebas seperti ACFTA merupakan bentuk penghianatan pemerintah terhadap rakyatnya yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi.  [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]

Ilusi MDGs Mengentaskan Kemiskinan

Ilusi MDGs Mengentaskan Kemiskinan

Oleh Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI


Pengantar
Jurnal-ekonomi.org – Pada 20-22 September 2010 lalu PBB menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Millennium Development Goals (MDG) di New York. KTT MDG yang mengangkat tema We Can End Poverty by 2015 dihadiri kurang lebih 150 kepala negara dan pemerintahan. KTT berupaya untuk menggalang komitmen para pemimpin dunia memerangi kemiskinan.[1]
Hasil KTT MDG tersebut terangkum dalam sebuah dokumen yang berjudul Keeping the Promise: United to Achieve the Millennium Development Goals”. Inti rekomendasi yang diadopsi dalam Keeping the Promise adalah menguatkan kembali komitmen para pemimpin dunia terhadap MDGs dan membuat langkah konkrit untuk mencapai tujuan MDGs 2015.[2]
MDGs bermula dari KTT Milenium yang diselenggarakan PBB pada September 2000 dengan hasil Deklarasi Milenium. Pada sidang PBB ke 56 tahun 2001, Sekretaris Jenderal PBB menyampaikan laporan dengan judul Road Map Towards the Implementation of the UN Millennium Declaration. Laporan ini memuat upaya pencapaian delapan sasaran pembangunan dengan 18 target dan 48 indikator pada tahun 2015 yang kemudian dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs).[3]
Delapan Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) tersebut terdari atas:
  1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem
  2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
  3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
  4. Menurunkan angka kematian anak
  5. Meningkatkan kesehatan ibu
  6. Memerangi HIV dan aids, malaria dan penyakit lainnya
  7. Memastikan kelestarian lingkungan
  8. Mempromosikan kerjasama global untuk pembangunan
Poin pertama MDGs berisi target pada tahun 2015 jumlah penduduk miskin dunia yang berpenghasilan di bawah $1 dapat dikurangi setengahnya dari 1,3 milyar berdasarkan kondisi tahun 1990.[4]
Kemiskinan yang Berkelanjutan
Upaya pencapaian target MDGs sudah berjalan 10 tahun sejak diformulasikan dalam Peta Jalan Menuju Implimentasi Deklarasi Milenium PBB. Waktu untuk mencapai target MDGs hanya menyisakan 5 tahun lagi. Namun masalah kemiskinan ekstrim saja masih jauh dari harapan. Dalam The Millennium Development Goals Report 2010 tingkat kemiskinan ekstrim dunia dengan standar 1,25 dollar per hari mencapai 1,4 milyar pada 2005.[5] Jumlah ini lebih tinggi dari 1990 dengan standar $1 per hari.
Tantangan mengurangi jumlah kemiskinan ekstrim semakin berat dengan krisis keuangan global, krisis energi, dan krisis pangan dunia. Menurut Bank Dunia kemiskinan ekstrim bertambah 50 juta pada 2009 dan 64 juta tahun ini. Krisis membuat tingkat kemiskinan bisa lebih tinggi pada 2015.[6]
Permasalahan yang dihadapi tidak hanya masalah jumlah kemiskinan tetapi juga ketimpangan. Tahun 2006, dari sisi Produk Domestik Bruto 6,5 milyar penduduk dunia menghasilkan kekayaan $48,2 trilyun. Penduduk negara-negara maju yang berjumlah 1 milyar menghasilkan kekayaan $36,6 trilyun atau 76% dari PDB dunia. Sebaliknya 2,4 milyar penduduk dari negara-negara berpendapatan rendah hanya menghasilkan $1,6 trilyun.[7] Setiap 1 penduduk negara maju memiliki pendapatan rata-rata 72 kali lipat dibandingkan pendapatan penduduk di negara yang berpendapatan rendah.
Angka tersebut menjelaskan jurang pendapatan semakin lebar. Sebab pada tahun 1960 perbedaannya mencapai 30 kali lipat.[8] Padahal sebagian besar sumber daya manusia dan sumber daya alam terdapat di negara-negara berpendapatan rendah.
Jika dibandingkan dengan era kolonialisme perbedaan ketimpangan semakin jauh. Tahun 1913 perbedaannya 11 banding 1.[9] Ini indikator yang menggambarkan tingkat penghisapan pada zaman modern jauh lebih dasyat dibandingkan zaman kolonialisme.
Ketimpangan juga terjadi antara penduduk kaya dengan mayoritas penduduk dalam sebuah negara. Sekitar 497 orang paling kaya di dunia pada 2006 memiliki kekayaan $3,5 trilyun.[10] Perbandingannya dengan pendapatan penduduk negara-negara maju sendiri mencapai 14 ribu kali lipat.
Ini bukti sasaran MDGs tahun 2015 hanyalah ilusi. Kemiskinan tidak dapat berakhir tetapi terus berkelanjutan. Sementara negara-negara maju yang diharapkan menjadi penolong juga menghadapi masalah yang tidak kalah pelik.
Di Amerika Serikat misalnya kemiskinan terus bertambah. Sejak 2000 kemiskinan meningkat dari 11,3% menjadi 14,3% pada 2009. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pun menjadi 43,6 juta orang.[11]
AS juga menanggung rekor hutang yang paling buruk. Sejak Deklarasi Milenium PBB September 2000, hutang publik AS $5,6 trilyun meningkat 2,4 kali lipat menjadi 13,6 trilyun dollar pada tahun ini.[12] Pembengkakkan hutang didorong oleh defisit anggaran yang semakin besar. Tahun ini defisit AS mencapai 1,294 trilyun dollar sedangkan pada tahun lalu defisit anggaran 1,416 trilyun dollar.[13]
Ilusi MDGs
MDGs memposisikan kebergantungan dunia kepada negara-negara maju, Bank Dunia dan IMF. Jika tidak ada komitmen dalam memberikan bantuan pembangunan, pemotongan hutang, dan membuka akses pasar bagi ekspor negara-negara berkembang, seolah-olah kemiskinan dunia tidak dapat dientaskan.[14]
KTT MDG September 2010 semakin mengukuhkan pola kebergantungan tersebut. Mengapa MDGs mengukuhkan kebergantungan? Padahal negara-negara maju yang diharapkan menjadi fondasi dalam memberikan bantuan sedang terlilit hutang publik dan defisit anggaran yang sangat besar.
Tahun ini defisit anggaran AS setara 10% PDB-nya. Rasio defisit Inggris 13,3%, Perancis 8,6%, Jepang 8,2%, Italia 5,4%, Jerman 5,3%, dan Kanada 5,2%. Mereka juga terlilit hutang yang terus bertambah. Hutang publik AS 96,2% PDB, Jepang 104,6%, Italia 100,8%, Perancis 60,7%, Inggris 59%, Jerman 54,7%, sedangkan Kanada 32,6%.[15]
Secara rasional tidak mungkin negara-negara maju di tengah permasalahan berat dapat memecahkan masalah kemiskinan dunia ketiga. Justru mereka sedang memerlukan sumber daya untuk membiayai krisis.
Tidak aneh pola kebergantungan dalam MDGs adalah strategi untuk menjebak dunia dalam lingkaran setan ekonomi. Mereka berkepentingan mengalihkan perhatian negara-negara berkembang dan terkebelakang dari masalah yang sebenarnya agar dunia tidak memahami kerusakan Kapitalisme dan penjajahan modern (neoimperialisme).
Karenanya sangat logis MDGs tidak berbicara tentang apa yang menjadi akar masalah kemiskinan dan bagaimana metode mengatasinya. MDGs tidak sedikit pun menggugat penjajahan ekonomi yang dilakukan negara-negara maju dan tidak juga berbicara sisi fundamental kerusakan ekonomi Kapitalis yang menjadi penyebab krisis pangan, krisis energi, serta krisis ekonomi dan keuangan.
MDGs hanya berisi seruan dan komitmen belaka. KTT yang digelar pun hanya menegaskan kembali seruan dan komitmen untuk mencapai delapan sasaran MDGs dengan slogan We Can End Poverty by 2015. Bahkan untuk memperkuat opini seruan MDGs, para selebritis dan olahragawan dunia menjadi bagian penting dalam kampanye MDGs.
Memformat Ulang Struktur Ekonomi
Kemiskinan dan ketimpangan merupakan problem yang timbul dari kekacauan struktur ekonomi. Inti masalahnya terletak pada distribusi kekayaan. Sehingga untuk memecahkan masalah kemiskinan harus fokus pada masalah ini. Pertanyaannya, model distribusi kekayaan yang seperti apa yang dapat menjadi solusi?
Sistem ekonomi Kapitalis menciptakan struktur ekonomi yang timpang disebabkan faktor kebebasan kepemilikan yang mendorong setiap orang berorientasi profit dan materialistik. Siapa yang kuat merekalah yang menang yang lemah mati. Di sini berlaku hukum alam.
Kapitalisme tidak hanya menciptakan struktur di mana sejumlah kecil individu menghisap masyarakat, tetapi menjadikan negara-negara kapitalis dan korporasinya sebagai “drakula” yang menghisap sumber daya ekonomi dunia.
Untuk itu dunia harus memformat ulang struktur ekonominya. Model yang diajukan Taqiyuddin an-Nabhani[16] dengan berpijak pada syariah Islam dapat dijadikan solusi untuk masalah ini.
Struktur pertama yang harus dirombak adalah sistem kepemilikan. Islam membagi kepemilikan menjadi kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Kepemilikan individu diakui karena merupakan bagian dari hak manusia untuk mempertahankan hidupnya. Kepemilikan individu diatur agar tidak menzalimi manusia lainnya. Karena itu tidak boleh individu menguasai aset dan sumber daya yang seharusnya masuk dalam kepemilikan negara atau pun kepemilikan umum.
Struktur kedua yang harus dirombak adalah yang berkaitan dengan masalah mengembangkan kekayaan atau investasi. Sistem ekonomi kapitalis menciptakan kegiatan ekonomi berbasis riba dan judi sehingga perbankan dan bursa saham menjadi poros ekonomi. Akibatnya ekonomi didominasi sektor keuangan yang mempercepat tingkat ketimpangan ekonomi dunia. Sektor ini pula yang menjadi sumber krisis dunia dan berdampak pada penciptaan kemiskinan.
Dalam Islam semua transaksi ekonomi dan pengembangan kekayaan harus terikat hukum syara’ dengan akad-akad yang syar’i dan adil. Wilayah transaksi pun hanya berada di sektor riil pada basis-basis kegiatan ekonomi yang dihalalkan syariah. Tidak ada dikotomi antara sektor riil dan sisi moneter. Sistem moneter hanya berkaitan dengan sistem mata uang emas dan perak tidak ada riba, judi, dan spekulasi.
Struktur ketiga adalah terciptanya suatu kondisi di mana setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Politik ekonomi Islam harus menjadi basis kebijakan ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah politik yang menjamin setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokok dan mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Politik ini mencegah kebiijakan negara yang pro pemilik modal dan anti rakyat sebagaimana ekonomi liberal yang dijalankan Indonesia saat ini.
Langkah Perubahan
MDGs bukanlah solusi. MDGs menjadi alat imperialisme negara-negara Kapitalis untuk mengalihkan perhatian dunia dari masalah sebenarnya yakni kerusakan ekonomi dan penjajahan. MDGs juga semakin memperkokoh kebergantungan terhadap negara-negara maju.
Jalan yang harus ditempuh adalah memformat ulang struktur ekonomi dunia dengan sistem ekonomi Islam. Untuk mencapainya langkah perubahan harus dilakukan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangunkan kesadaran dunia akan masalah yang sebenarnya. Langkah kedua memutus mata rantai penjajahan negara-negara Kapitalis. Langkah ketiga adalah mewujudkan sistem khilafah yang akan memimpin dunia membebaskan diri dari penjajahan dan kemiskinan. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]
FOOTNOTE:

[1] UN Department of Public Information, 2010. Press Release: United Nations Convenes World Leaders to Deliver on Anti-Poverty Commitments, 13 September. [2] UN Department of Public Information, 2010. Press Release: UN Summit Concludes with Adoption of Global Action Plan to Achieve Development Goals by 2015, 22 September.
[3] General Assembly, 2001. Report of Secretary General: Road Map Towards the Implementation of the UN Millennium Declaration, 6 September.
[4] Ibid, hal 20.
[5] United Nations, 2010. The Millennium Development Goals Report 2010: We Can End Poverty 2015, hal 6.
[6] Ibid, hal 7.
[7] Globalissues.org, 2009. Poverty Facts and Stats, 22 Maret.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] US Census Bureau, 2010. Income, Poverty, and Health Insurance Coverage in the United States: 2009, September, hal 14-15.
[12] Data utang publik AS bisa diakses di www.treasurydirect.gov.
[13] Bloomberg.com, 2010. U.S. Posts Second-Largest Annual Budget Deficit on Record, 16 Oktober.
[14] Lihat poin 10 dari Report of Secretary General: Road Map Towards the Implementation of the UN Millennium Declaration.
[15] Guardian.co.uk, 2010, National debt and deficit data for every OECD country, 27 Mei.
[16] Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, 2010. Sistem Ekonomi Islam (Edisi Mu’tamadah), Jakarta: Hizbut Tahrir.